Perbandingan UU Cipta Kerja dan UU Ketenagakerjaan
Akhir akhir ini perbincangan mengenai UU Cipta Kerja atau ciptaker menjadi pembahasan yang cukup krusial. Presiden Joko Widodo resmi meneken omnibus law UU Cipta Kerja. Kini UU tersebut telah diundangkan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020.
Dokumen salinan UU Cipta Kerja sudah diunggah di situs resmi Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Sekretariat Negara (JDIH Setneg). UU ini berjumlah 1.187 halaman.
Namun, apa yang sebenarnya yang harus Anda tahu dari undang undang cipta kerja ini? Terutama bagi Anda seorang pekerja.
Berikut adalah kajian Aksaragama.com bersama Pengacara Redho Purnomo, SH., MH., selaku konsultan hukum dari Aksaragama.com sekaligus pendiri Kantor Hukum REDHO PURNOMO & PARTNERS “Litigator & Legal Advisor”.
DISCLAIMER
Seluruh isi dari kajian ini BERSIFAT PRIBADI hasil penelitian dan pengkajian Advokat / Pengacara REDHO PURNOMO, S.H., M.H., oleh karenanya kami (RPP LAWYERS – Litigator & Legal Advisor dan Aksaragama.com) tidak memiliki tanggung jawab apapun terhadap pihak manapun atas penggunaan kajian ini, termasuk namun tidak terbatas pada segala bentuk kerugian yang mungkin akan timbul akibat adanya kajian ini;
Tulisan ini SEBATAS KAJIAN terhadap perubahan ketentuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya (Outsourcing), Waktu Kerja, Pengupahan, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) serta Uang Pesangon yang diatur dalam UU CIPTA KERJA;
Dengan adanya UU CIPTA KERJA bukan berarti menghilangkan / menghapus UU KETENAGAKERJAAN yang telah ada, melainkan hanya dilakukan beberapa PERUBAHAN terhadap pasal-pasal yang telah ada;
Adapun sumber hukum yang digunakan dalam kajian ini:
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
- Praktisi Hukum Ketenagakerjaan.
Perihal Ketentuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
- Pelanggaran atas pelaksanaan PKWT yang tidak dibuat secara tertulis dan dalam Bahasa Indonesia ataupun Huruf Latin tidak lagi mengakibatkan PKWT menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) melainkan apabila terjadi perbedaan penafsiran antara kedua bahasa tersebut maka yang berlaku adalah PKWT dengan menggunakan bahasa Indonesia. (Catatan: dihapusnya Pasal 57 ayat (2) UU 13/2003.)
- Adanya penegasan dalam hal PKWT disyaratkan Masa Percobaan Kerja, maka Masa Percobaan Kerja tersebut menjadi Batal Demi Hukum dan periode waktu yang telah dilewati pekerja PKWT dalam Masa Percobaan Kerja dimaksud tetap dihitung sebagai masa kerja pekerja dalam menjalankan PKWT.(Catatan: penambahan frasa “masa kerja tetap dihitung” dalam Pasal 58 ayat (2) UU CIPTA KERJA).
- Pelanggaran atas pelaksanaan PKWT terkait ketentuan Pasal 59 ayat 1 dan 2 UU Cipta Kerja demi hukum menjadi PKWTT.
- Dihapusnya ketentuan mengenai Batas maksimal jangka waktu PKWT, Perpanjangan PKWT dan Pembaharuan PKWT, Masa Tenggang 30 hari dalam hal PKWT ingin diperbaharui. (Catatan: Mengingat adanya ketentuan pada ayat Pasal 59 ayat (4) UU CIPTA KERJA yang menyebutkan bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah”, MAKA kemungkinan besar ketentuan-ketentuan dimaksud akan diatur secara terpisah dan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah).
- Adanya penegasan bahwa PKWT yang didasarkan atas selesainya suatu pekerjaan tertentu (bukan didasarkan jangka waktu) dianggap berakhir apabila pekerjaan dimaksud telah selesai pengerjaannya. (Catatan: penambahan Pasal 61 ayat (1) huruf c pada UU CIPTA KERJA)
- Pekerja yang PKWTnya berakhir dengan alasan berakhirnya jangka waktu PKWT atau selesainya pekerjaan yang dimaksud dalam PKWT, berhak atas uang kompensasi dari pihak pengusaha, yang nilainya tergantung dengan masa kerja pekerja ybs. Adapun aturan lebih lanjut mengenai uang kompensasi ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. (Catatan: Pasal 61A UU CIPTA KERJA)
Perihal Ketentuan Alih Daya (Outsourching)
- Dihapusnya Pasal 64 dan 65 UU 13/2003, menyebabkan Alih Daya (Outsourcing) di Indonesia tidak lagi terbagi menjadi 2 (dua) jenis (Pemborongan Pekerjaan dan Penyediaan Jasa Pekerja), namun hanya 1 (satu) jenis saja, yakni Pemborongan Pekerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1601b KUHPerdata;
- Dihapusnya ketentuan mengenai syarat dan jenis pekerjaan yang dapat di-outsourcing-kan. (Catatan: dihapusnya Pasal 64 dan Pasal 65 UU 13/2003)
- Dipertegasnya ketentuan dalam hal Perusahaan Outsourcing memperkerjakan pekerja berdasarkan PKWT maka perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan Pengalihan Perlindungan Hak-Hak bagi Pekerja apabila terjadi pergantian Perusahaan Outsourcing. Hal ini biasa dikenal dengan Transfer of Undertaking Protection of Employment (TUPE), yang mana sebenarnya hal ini telah diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011. (Catatan: Pasal 66 ayat (3) Undang undang Cipta Kerja)
- Dihapusnya ketentuan perlindungan pekerja outsourcing, namun akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. (Catatan: Pasal 66 ayat (6) UU CIPTA KERJA)
Perihal Ketentuan Waktu Kerja
- Untuk ketentuan batas waktu kerja tidak ada perubahan sama sekali. (Catatan: Pasal 77 ayat (2) UU CIPTA KERJA)
- Adanya penegasan bahwa pelaksanaan jam kerja di perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, yang mana sebenarnya hal ini memang telah sesuai dengan praktek di lapangan selama ini. (Catatan: penambahan pada Pasal 77 ayat (4) UU CIPTA KERJA)
- Batas maksimal waktu kerja lembur menjadi 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu. (Catatan: Pasal 78 ayat (1) huruf b Undang undang Cipta Kerja)
- Dihapusnya ketentuan Istirahat Mingguan 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Cek Pasal 79 ayat (2) huruf b UU 13/2003 dan UU Cipta Kerja. (Catatan: Meskipun ketentuan ini dihapus, pekerja dengan waktu kerja 5 hari kerja dalam 1 minggu tetap memperoleh 2 hari libur mengingat dalam 1 minggu terdapat 7 hari dan yang dapat digunakan sebagai hari kerja adalah max. 5 (lima) hari kerja (7 hari – 5 hari: 2 hari libur).
- Dihapusnya ketentuan kewajiban pemberian Istirahat Panjang bagi pekerja pada perusahaan tertentu. Namun hal ini dapat diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. (Catatan: dihapusnya Pasal 79 ayat (2) huruf d UU 13/2003).
- Hak cuti tahunan tetap sama hanya ada perubahan ketentuan Pasal. (Catatan: dihapusnya Pasal 79 ayat (2) huruf c UU 13/2003 dan cek Pasal 79 ayat (3) Undang undang Cipta Kerja)
- Terkait dengan ketentuan Hak Cuti Melahirkan dan Cuti Haid juga tetap sama tidak ada perubahan. (Catatan: Pasal 81 dan 82 UU 13/2003 tidak dihapus dalam UU Cipta Kerja)
Perihal Ketentuan Pengupahan
- Ketentuan mengenai Upah Minimum baik Upah Minimum Provinsi atau Kabupaten/Kota TIDAK DIHAPUS. Adapun perubahan pada formula dan tata cara penetapannya, yang mana akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. (Catatan: disisipkan pasal baru yaitu Pasal 88A s/d 88E Undang undang Cipta Kerja)
- Ketentuan Upah Minimum tidak berlaku bagi perusahaan Usaha Mikro dan Kecil. (Catatan: cek Pasal 90B ayat (1) Undang undang Cipta Kerja)
- Dihapusnya ketentuan mengenai Denda bagi pekerja yang melakukan pelanggaran atas kesalahan atau kelalaiannya dan denda bagi perusahaan yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah. Dihapusnya Pasal 95 ayat (1), (2) dan (3) UU 13/2003.
(Catatan: mengingat adanya ketentuan Pasal 88 ayat (4) UU CIPTA KERJA yang menyebutkan “Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah”, maka kemungkinan besar ketentuan mengenai Denda yang dimaksud akan diatur secara terpisah dan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah). - Dipertegasnya ketentuan dalam hal perusahaan pailit atau dilikuidasi, maka upah dan hak lainnya yang belum diterima pekerja merupakan utang yang didahulukan pembayarannya (pembayaran upah didahulukan sebelum pembayaran kepada semua kreditur, sedangkan pembayaran hak lainnya didahulukan sebelum pembayaran kepada semua kreditur kecuali kreditur pemegang hak jaminan kebendaan). (Catatan: sebenarnya hal ini telah diatur dalam Putusan MK No. 67/PUU-XI/2013. cek Pasal 95 Undang undang Cipta Kerja)
Perihal Ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan Uang Pesangon
- Dipertegasnya ketentuan dalam hal pekerja menolak PHK yang dilakukan perusahaan, maka pekerja yang bersangkutan dapat menempuh upaya hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dimulai dengan Perundingan Bipartit. (Catatan: hal ini sebenarnya telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Lihat Pasal 151 UU CIPTA KERJA)
- Dipertegasnya ketentuan bahwa perusahaan tidak bisa lagi mengatur ketentuan alasan PHK karena pekerja memiliki pertalian darah atau ikatan perkawinan dengan dengan pekerja lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Cek Pasal 153 Ayat (1) huruf f UU CIPTA KERJA.
(Catatan: sebenarnya hal ini telah diatur dalam Putusan MK RI No. 13/PUU/XV/2017 dihapusnya frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama” dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU 13/2003) - Ditambahkannya alasan PHK yang dapat dilakukan perusahaan: karena perusahaan dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga.
(Catatan ini berdsarkan: lihat Pasal 154A ayat (1) huruf e UU CIPTA KERJA) - Diaturnya ketentuan bahwa perusahan dapat mengatur alasan-alasan PHK lainnya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Cek Pasal 154A ayat (2) UU CIPTA KERJA.
(Catatan: Menurut hemat kami, hal ini berpotensi mengakibatkan fenomena PHK sepihak dan sewenang-wenang oleh perusahaan karena perusahaan dapat mengatur secara bebas alasan-alasan phk dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama) - Ketentuan dan persyaratan tata cara PHK diatur lebih lanjut dalam Peraturan pemerintah. (Catatan: cek Pasal 154A ayat (3) UU CIPTA KERJA)
- Ketentuan penghitungan uang pesangon dan Uang Penghargaan Masa Kerja yang diatur dalam Pasal 156 ayat (2) dan (3) UU 13/2003 tidak lagi menjadi “batas minimal” namun menjadi “batas maksimal”.
(Catatan: dihapusnya frasa “paling sedikit” dalam Pasal 156 ayat (2) dalam UU CIPTA KERJA) - Dihapusnya Pasal 156 ayat (4) huruf c UU 13/2003 mengenai komponen Penggantian Perumahan serta pengobatan dan Perawatan (sebesar 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja) dari Uang Penggantian Hak.
- Dihapusnya Pasal 158 UU 13/2003 mengenai ketentuan PHK dengan alasan kesalahan berat, yang mana sebenarnya hal ini telah diatur dalam Putusan MK No. 012/PUU-I/2003.
- Dihapusnya Pasal 161 s/d 169 UU 13/2003 mengenai ketentuan penghitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Uang Penggantian Hak atas PHK dengan alasan-alasan yang dimaksud dalam Pasal 161 s/d 169 UU 13/2003.
(Catatan: Mengingat adanya ketentuan pada ayat Pasal 154A ayat (3) UU CIPTA KERJA yang menyebutkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemutusan hubungan kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah”, maka kemungkinan besar ketentuan penghitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Uang Penggantian Hak yang dimaksud akan diatur secara terpisah dan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah)
Kesimpulan
Secara hemat kami, karena banyaknya ketentuan yang selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP), maka selama PP tersebut belum diterbitkan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pencari keadilan.
Dengan demikian dalam kondisi tersebut seharusnya selama ada ketentuan tertentu yang belum diatur dan belum diterbitkan dalam bentuk PP maka secara hemat saya demi hukum aturan pada UU 13/2003 yang masih berlaku.” Tegas Redho menyimpulkan
Demikian penjelasan dan uraian dari Praktisi Hukum Ketenagakerjaan (Labour Law) mengenai Undang undang Cipta Kerja dari Advokat / Pengacara Redho Purnomo, S.H., M.H. yang telah dirangkum oleh Aksaragama.com
Bagi Anda yang membutuhkan Jasa Advokat / Pengacara & Konsultan Hukum untuk perusahaan atau perorangan untuk beracara di Pengadilan Agama / Pengadilan Negeri seluruh Indonesia, jangan ragu untuk menghubungi kami melalui tautan ini.
RPP LAWYERS: 0817-777-429 (Redho Purnomo, S.H., M.H.)
Berikut adalah artikel hukum menarik lainnya yang bisa Anda baca:
- Mengurus Perceraian & Sengketa Waris Menggunakan Jasa Pengacara
- Menunggak Tagihan Kartu Kredit? Ini Cara Hadapi Debt Collector yang Melanggar Etika Penagihan
- Pengertian Pakta Integritas, Sejarah, Contoh dan Tujuannya
- Sulit Menagih Utang Perorangan atau Perusahaan? Pakai Jasa Pengacara Saja
- Ingin Mengganti atau Merubah Nama? Perhatikan Hal Berikut