Aturan Nikah Siri Menurut Hukum di Indonesia

Nikah siri, atau juga dikenal dengan istilah nikah tanpa status resmi, telah menjadi topik perbincangan yang hangat dalam masyarakat Indonesia. Terlepas dari kontroversi dan perbedaan pandangan tentang praktik ini, nikah siri masih tetap menjadi fenomena sosial yang signifikan di tengah-tengah masyarakat.

Pada artikel kali ini, kami akan membahas aturan nikah siri berdasarkan hukum di Indonesia dan diulas secara mendalam bersama rekan  Pengacara kami, Redho Purnomo, S.H., M.H dari RPP LAWYERS.

Apa itu Nikah Siri?

Menurut Redho, nikah siri, juga dikenal sebagai pernikahan yang tidak dicatatkan, adalah jenis pernikahan di Indonesia yang hanya disaksikan oleh petugas agama dan saksi, tanpa didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA).

Menurut hukum di Indonesia, khususnya UU No. 1 Tahun 1974, sebuah pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing pasangan dan dicatatkan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kewajiban pencatatan pernikahan juga tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Dalam konteks agama Islam, pernikahan siri dianggap sah apabila memenuhi lima rukun nikah yang telah ditentukan oleh agama. Namun, dari sisi hukum, pernikahan siri tidak diakui oleh negara dan tidak memiliki keabsahan hukum. Artinya, pasangan yang melangsungkan pernikahan siri tidak memiliki akta nikah sebagai bukti bahwa pernikahan mereka diakui oleh negara.

Baca juga: Aturan Hibah Waris Menurut Pengacara Berpengalaman

Bolehkah Melakukan Nikah Siri?

Seperti yang sudah dipaparkan diatas, nikah siri adalah jenis pernikahan di Indonesia yang hanya disaksikan oleh petugas agama dan saksi, tanpa didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 menetapkan bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan adalah ilegal, namun tidak secara eksplisit melarang atau mengkriminalisasi siapa pun yang melakukan pernikahan siri.

Oleh karena itu, nikah siri tidak diakui secara hukum di Indonesia, dan pasangan yang melakukan pernikahan jenis ini tidak memiliki hak dan kewajiban hukum sebagai individu yang sudah menikah, seperti hak waris dan kemampuan untuk mengambil keputusan atas nama pasangan mereka dalam situasi tertentu.

Meskipun nikah siri tidak secara eksplisit dilarang atau dikriminalisasi, terdapat potensi sanksi pidana bagi mereka yang melakukan pernikahan jenis ini. Sebagai contoh, siapa pun yang menikah ketika masih terikat dalam pernikahan yang sah dengan orang lain dapat dijatuhi hukuman maksimal lima tahun penjara. Selain itu, siapa pun yang melakukan perzinahan dapat dijatuhi hukuman maksimal sembilan bulan penjara.

Oleh karena itu, pasangan yang memilih untuk melangsungkan pernikahan yang tidak dicatatkan harus menyadari potensi konsekuensi hukum dan keterbatasan yang mungkin timbul dari keputusan mereka.

Singkatnya, nikah siri tidak diakui secara hukum di Indonesia, dan pasangan yang melangsungkan pernikahan jenis ini tidak memiliki hak dan kewajiban hukum sebagai pasangan suami istri. Meskipun nikah siri tidak secara eksplisit dilarang atau dikriminalisasi, terdapat potensi sanksi pidana bagi mereka yang melakukan pernikahan jenis ini.

Baca juga: Apakah Hutang Bisa Diwariskan? Ini Jawaban Pengacara

edho nikah siri

Apa Kerugian Melakukan Nikah Siri?

Berikut adalah beberapa potensi kerugian atau kerugian dari nikah siri di Indonesia, menurut Redho Purnomo, S.H., M.H dari RPP LAWYERS:

  • Kurangnya pengakuan hukum: Nikah siri tidak diakui secara hukum di Indonesia, dan pasangan yang melakukan pernikahan jenis ini tidak memiliki hak dan kewajiban hukum sebagai individu yang sudah menikah, seperti hak waris dan kemampuan untuk mengambil keputusan atas nama pasangan mereka dalam situasi tertentu.
  • Gono-gini: Jika terjadi perceraian, istri dalam pernikahan siri mungkin tidak berhak atas perlindungan hukum dan hak-hak yang sama dengan individu yang menikah secara sah, seperti hak untuk mengklaim gono-gini (harta yang diperoleh selama pernikahan).
  • Status anak: Anak-anak yang lahir dari pernikahan siri tidak dianggap sah di mata hukum. Mereka memiliki status yang sama dengan anak yang lahir di luar nikah.
  • Risiko perceraian: Nikah siri lebih rentan terhadap perceraian karena proses perceraian sangat mudah dilakukan, dimana ketika suami ingin bercerai, ia hanya perlu mengucapkan “talak” sebanyak tiga kali.

Yang paling menakutkan menurut Redho adalah status pada anak yang lahir dari kawin siri, karena menurut Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 tentang Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, bahwa anak yang lahir dari pernikahan siri disamakan statusnya dengan anak luar kawin.

  • Apabila kelak sang ayah meninggal dunia, sang anak juga tidak berhak menerima warisan apapun dari sang ayah, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UUP jo. pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
  • menurut Pasal 863 KUHPerdata, jika anak hasil pernikahan siri itu diakui oleh ayahnya (setelah melalui serangkaian proses pengakuan secara hukum), maka ia hanya berhak mewarisi 1/3 bagian dari yang seharusnya ia terima jika ia merupakan anak yang

Hal ini karena nikah siri bukanlah perkawinan yang sah sesuai pasal 2 UU perkawinan. Suatu perkawinan dianggap sah apabila perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Baca juga: Mengetahui Hukum Pengalihan Warisan di Indonesia

Aturan Hukum di Indonesia mengenai Nikah Siri

Di Indonesia, meskipun nikah siri diakui oleh agama Islam, namun negara tidak memberikan pengakuan hukum terhadap pernikahan ini. Hal ini diatur dalam beberapa undang-undang yang mengatur pernikahan di Indonesia.

Nikah siri merupakan pernikahan yang dilakukan berdasarkan syariat Islam tanpa melalui prosedur pernikahan yang diatur oleh negara. Pernikahan ini biasanya dilakukan secara sederhana, tanpa adanya saksi atau catatan resmi yang dibuat oleh pihak berwenang. Meskipun nikah siri dianggap sah dalam agama Islam, namun tidak memiliki pengakuan hukum dari negara.

Undang-undang yang mengatur nikah siri

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan landasan hukum utama yang mengatur proses dan syarat pernikahan di Indonesia. Undang-undang ini menyatakan bahwa pernikahan sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum dan prosedur yang berlaku di negara.

Undang-undang ini juga mengatur tentang persyaratan pernikahan, seperti batasan usia, persetujuan orang tua, dan prosedur pernikahan yang harus diikuti. Pernikahan yang tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang ini dianggap tidak sah secara hukum dan tidak memiliki pengakuan hukum dari negara.

Oleh karena itu, nikah siri yang tidak memenuhi ketentuan undang-undang tersebut dianggap tidak sah secara hukum dan tidak memiliki pengakuan hukum dari negara.

Sanksi hukum untuk nikah siri

Meskipun nikah siri tidak diakui secara hukum, tidak ada sanksi hukum yang diberikan kepada pasangan yang melakukan pernikahan ini. Namun, perlu dipahami bahwa dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban, pasangan tersebut tidak akan mendapatkan perlindungan dari undang-undang yang mengatur pernikahan secara resmi.

Hal ini dapat berdampak pada hak-hak seperti waris, hak asuh anak, dan hak-hak lainnya yang diakui oleh negara dalam pernikahan yang sah secara hukum. Pasangan yang melakukan nikah siri tidak akan mendapatkan perlindungan hukum dalam hal-hal tersebut, sehingga dapat menimbulkan masalah dan konflik di kemudian hari.

Sebagai alternatif, bagi pasangan yang ingin menjalani hubungan yang diakui secara hukum, mereka dapat memilih untuk melakukan pernikahan yang sah sesuai dengan undang-undang yang berlaku di negara. Dengan melakukan pernikahan yang sah, pasangan tersebut akan mendapatkan perlindungan hukum dan hak-hak yang diakui oleh negara.

Baca juga: Aturan Pembagian Warisan Menurut Hukum di Indonesia

chat whatsapp

Mencari Pengacara Kasus Perceraian Berpengalaman?

Jika Anda sedang mengalami masalah perceraian dan membutuhkan bantuan hukum dan jasa pengacara, Redho Purnomo, S.H., M.H dari RPP LAWYERS siap membantu Anda. RPP LAWYERS adalah kantor hukum yang memiliki pengalaman dalam menangani berbagai kasus perceraian, baik yang bersifat sederhana maupun kompleks.

Dengan pengalaman dan keahlian yang dimilikinya, Redho Purnomo, S.H., M.H dapat memberikan solusi hukum yang tepat dan terbaik untuk masalah perceraian Anda.RPP LAWYERS menawarkan layanan hukum yang lengkap dan profesional untuk masalah perceraian, termasuk dalam hal pembagian harta gono-gini, hak asuh anak, dan nafkah.

Redho Purnomo, S.H., M.H dan timnya akan membantu Anda dalam setiap tahap proses perceraian, mulai dari konsultasi hukum, mediasi, hingga persidangan. Dengan pendekatan yang humanis dan berorientasi pada kepentingan klien, RPP LAWYERS akan memberikan dukungan dan bantuan hukum yang Anda butuhkan untuk mengatasi masalah perceraian Anda.

Ringkasan Pengalaman Redho Purnomo, S.H., M.H.

  • Paralegal di LBH PILAR NUSA BOGOR tahun 2014 – 2016;
  • Direktur Non Litigasi di LBH PILAR NUSA BOGOR tahun 2016 – 2018;
  • Associate Lawyer di Kantor Hukum Kusnadi, SH & Partners tahun 2016 – 2018;
  • In House Lawyer di PT. JTRUST INVESTMENTS INDONESIA tahun 2018 – 2019;
  • Senior lawyer di Law Firm TM. Mangunsong & Partners tahun 2019 – 2020;
  • Founder & Managing Partner RPP LAWYERS tahun 2019 s/d sekarang

Pengalaman Organisasi:

  • Kader Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) tahun 2013 – 2016;
  • Tim Hukum BALAD ADE YASIN Bupati Kab. Bogor tahun 2017 – 2018;
  • Divisi Penyumpahan & Perlindungan Profesi Advokat di DPC PERADI Kab. Bogor 2019 s/d sekarang;
  • Anggota Badan Penyuluhan & Pembelaan Hukum Pemuda Pancasila (BPPH PP) MPC Kab. Bogor 2021 s/d sekarang.